Menyusuri jalan menuju bagian selatan kompleks Istana
Ratu Boko adalah sebuah perjalanan yang mengasyikkan, terutama bagi penikmat
wisata budaya. Bagaimana tidak, bangunan candi di sana bertebaran bak cendawan
di musim hujan. Satu diantaranya yang belum banyak menjadi perbincangan adalah
Candi Ijo, sebuah candi yang letaknya paling tinggi di antara candi-candi lain
di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Candi Ijo dibangun sekitar abad ke-9, di sebuah bukit
yang dikenal dengan Bukit Hijau atau Gumuk Ijo yang ketinggiannya sekitar 410 m
di atas permukaan laut. Karena ketinggiannya, maka bukan saja bangunan candi
yang bisa dinikmati tetapi juga pemandangan alam di bawahnya berupa teras-teras
seperti di daerah pertanian dengan kemiringan yang curam. Meski bukan daerah
yang subur, pemandangan alam di sekitar candi sangat indah untuk dinikmati.
Kompleks candi terdiri dari 17 struktur bangunan yang
terbagi dalam 11 teras berundak. Teras pertama sekaligus halaman menuju pintu
masuk merupakan teras berundak yang membujur dari barat ke timur. Bangunan pada
teras ke-11 berupa pagar keliling, delapan buah lingga patok, empat bangunan
yaitu candi utama, dan tiga candi perwara. Peletakan bangunan pada tiap teras
didasarkan atas kesakralannya. Bangunan pada teras tertinggi adalah yang paling
sakral.
Ragam bentuk seni rupa dijumpai sejak pintu masuk
bangunan yang tergolong candi Hindu ini. Tepat di atas pintu masuk terdapat
kala makara dengan motif kepala ganda dan beberapa atributnya. Motif kepala
ganda dan atributnya yang juga bisa dijumpai pada candi Buddha menunjukkan
bahwa candi itu adalah bentuk akulturasi kebudayaan Hindu dan Buddha. Beberapa
candi yang memiliki motif kala makara serupa antara lain Ngawen, Plaosan dan
Sari.
Ada pula arca yang menggambarkan sosok perempuan dan
laki-laki yang melayang dan mengarah pada sisi tertentu. Sosok tersebut dapat
mempunyai beberapa makna. Pertama, sebagai suwuk untuk mngusir roh jahat dan
kedua sebagai lambang persatuan Dewa Siwa dan Dewi Uma. Persatuan tersebut
dimaknai sebagai awal terciptanya alam semesta. Berbeda dengan arca di Candi
Prambanan, corak naturalis pada arca di Candi Ijo tidak mengarah pada erotisme.
Menuju bangunan candi perwara di teras ke-11, terdapat
sebuah tempat seperti bak tempat api pengorbanan (homa). Tepat di bagian atas
tembok belakang bak tersebut terdapat lubang-lubang udara atau ventilasi
berbentuk jajaran genjang dan segitiga. Adanya tempat api pengorbanan merupakan
cermin masyarakat Hindu yang memuja Brahma. Tiga candi perwara menunjukkan
penghormatan masyarakat pada Hindu Trimurti, yaitu Brahma, Siwa, dan Whisnu.
Salah satu karya yang menyimpan misteri adalah dua
buah prasasti yang terletak di bangunan candi pada teras ke-9. Salah satu
prasasti yang diberi kode F bertuliskan Guywan atau Bluyutan berarti pertapaan.
Prasasti lain yang terbuat dari batu berukuran tinggi 14 cm dan tebal 9 cm
memuat mantra-mantra yang diperkirakan berupa kutukan. Mantra tersebut ditulis
sebanyak 16 kali dan diantaranya yang terbaca adalah "Om Sarwwawinasa,
Sarwwawinasa." Bisa jadi, kedua prasasti tersebut erat dengan terjadinya
peristiwa tertentu di Jawa saat itu. Apakah peristiwanya? Hingga kini belum
terkuak.
Mengunjungi candi ini, anda bisa menjumpai pemandangan
indah yang tak akan bisa dijumpai di candi lain. Bila menghadap ke arah barat
dan memandang ke bawah, anda bisa melihat pesawat take off dan landing di
Bandara Adisutjipto. Pemandangan itu bisa dijumpai karena Pegunungan Seribu
tempat berdiri candi ini menjadi batas bagian timur bandara. Karena keberadaan
candi di pegunungan itu pula, landasan Bandara Adisutjipto tak bisa
diperpanjang ke arah timur.
Setiap detail candi menyuguhkan sesuatu yang bermakna
dan mengajak penikmatnya untuk berefleksi sehingga perjalanan wisata tak
sekedar ajang bersenang-senang. Adanya banyak karya seni rupa hebat tanpa
disertai nama pembuatnya menunjukkan pandangan masyarakat Jawa saat itu yang
lebih menitikberatkan pada pesan moral yang dibawa oleh suatu karya seni, bukan
si pembuat atau kemegahan karya seninya.
0 komentar:
Posting Komentar